senin, 18 April 2016 | 10:12 WIB
Juru Bicara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Yudi Ramdan dan Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seusai pemeriksaan pembelian sebagian
lahan RS Sumber Waras, di Gedung BPK, Senin (23/11/2015).
JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
menjawab tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut
pembayaran uang pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dilakukan pada
31 Desember 2014 malam secara tunai.
Menurut Ahok (sapaan Basuki), tak ada bank mana pun di Indonesia yang bisa menyediakan uang tunai Rp 755 miliar secara tunai.
Ia mengatakan, kalaupun ada pihak yang membutuhkan uang tunai dengan jumlah tersebut, maka harus memintanya langsung ke Bank Indonesia.
"Kalau Rp 700 miliar dihitung pakai hitung mesin, itu butuh 13-14 hari nonstop menghitungnya," kata Ahok di Balai Kota, Senin (18/4/2016).
"Kamu kebayang enggak sih Rp 700 miliar itu berapa ton? Kamu pernah menghitung duit enggak? Kalau belum pernah, tanyalah ke orang yang pernah menghitung duit, Rp 700 miliar itu dia butuh kira-kira 13-an hari," kata dia lagi.
Ahok terlihat sudah enggan menanggapi soal polemik pembayaran lahan Sumber Waras, terutama mengenai hubungannya dengan BPK.
Seusai menjawab pembelaannya soal tudingan pembayaran tunai Rp 755 miliar, Ahok kemudian meminta wartawan untuk tidak lagi menanyakan hal-hal seputar Sumber Waras dan BPK kepadanya.
"Kalian tolong teman-teman media, kita fokus urusan kerja saja. Saya kira menjawab soal RS Sumber Waras, soal BPK, kalau baca search di Google, tak selesai 24 jam. Semua sudah jelas. Jadi tidak usah ngomong itu lagi ya," ujar Ahok.
Pekan lalu, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan Budiman mengatakan, awal mula kecurigaan BPK terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras berawal dari transaksi yang tak lazim yang dilakukan oleh Pemprov DKI.
Dari hasil pemeriksaan BPK, terdapat transaksi yang dilakukan oleh Bendahara Dinkas Pemprov DKI pada 31 Desember 2014 pukul 19.00 atau lewat dari jam kerja.
Dari hasil pemeriksaan laporan keuangan, ada transaksi tunai senilai Rp 755,69 miliar melalui jenis belanja uang persediaan (UP).
Yudi mengatakan, transaksi melalui UP biasanya dilakukan untuk transaksi dengan nilai transaksi kecil.
"Sudah nilai besar, lalu melalui UP dan transaksi dilakukan pukul 07.00 malam yang sudah lewat dari jam kerja. Auditor di seluruh dunia pasti mengkritik, ini ada apa, transaksi apa, tetapi bisa salah, bisa benar. Kalau ada buktinya, tidak masalah," kata Yudi di Gedung BPK, Kamis (14/4/2016).
Menurut Ahok (sapaan Basuki), tak ada bank mana pun di Indonesia yang bisa menyediakan uang tunai Rp 755 miliar secara tunai.
Ia mengatakan, kalaupun ada pihak yang membutuhkan uang tunai dengan jumlah tersebut, maka harus memintanya langsung ke Bank Indonesia.
"Kalau Rp 700 miliar dihitung pakai hitung mesin, itu butuh 13-14 hari nonstop menghitungnya," kata Ahok di Balai Kota, Senin (18/4/2016).
"Kamu kebayang enggak sih Rp 700 miliar itu berapa ton? Kamu pernah menghitung duit enggak? Kalau belum pernah, tanyalah ke orang yang pernah menghitung duit, Rp 700 miliar itu dia butuh kira-kira 13-an hari," kata dia lagi.
Ahok terlihat sudah enggan menanggapi soal polemik pembayaran lahan Sumber Waras, terutama mengenai hubungannya dengan BPK.
Seusai menjawab pembelaannya soal tudingan pembayaran tunai Rp 755 miliar, Ahok kemudian meminta wartawan untuk tidak lagi menanyakan hal-hal seputar Sumber Waras dan BPK kepadanya.
"Kalian tolong teman-teman media, kita fokus urusan kerja saja. Saya kira menjawab soal RS Sumber Waras, soal BPK, kalau baca search di Google, tak selesai 24 jam. Semua sudah jelas. Jadi tidak usah ngomong itu lagi ya," ujar Ahok.
Pekan lalu, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan Budiman mengatakan, awal mula kecurigaan BPK terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras berawal dari transaksi yang tak lazim yang dilakukan oleh Pemprov DKI.
Dari hasil pemeriksaan BPK, terdapat transaksi yang dilakukan oleh Bendahara Dinkas Pemprov DKI pada 31 Desember 2014 pukul 19.00 atau lewat dari jam kerja.
Dari hasil pemeriksaan laporan keuangan, ada transaksi tunai senilai Rp 755,69 miliar melalui jenis belanja uang persediaan (UP).
Yudi mengatakan, transaksi melalui UP biasanya dilakukan untuk transaksi dengan nilai transaksi kecil.
"Sudah nilai besar, lalu melalui UP dan transaksi dilakukan pukul 07.00 malam yang sudah lewat dari jam kerja. Auditor di seluruh dunia pasti mengkritik, ini ada apa, transaksi apa, tetapi bisa salah, bisa benar. Kalau ada buktinya, tidak masalah," kata Yudi di Gedung BPK, Kamis (14/4/2016).